BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Kekuasaan pemerintah kolonial Belanda
berakhir ketika pada tanggal 8 Maret 1942 mereka menyerah kepada militer
kerajaan Jepang. Kemenangan tentara Jepang itu ditandai dengan penyerahan
tanpa syarat oleh panglima tentara Hindia Belanda (Letnan Ter Poerten) bersama
gubernur jendral pemerintah kolonial Belanda (Tjarda Van Starkenborgh
Stachouwer) kepada pimpinan angkatan perang Jepang (Letnan Jendral Hitoshi Imamora)
pada tanggal 2 Maret 1942 di Kalijati. Selanjutnya bangsa Indonesia berada
di bawah kekuasaan pendudukan militerisme Jepang selama hampir
3,5 tahun.
Jepang menyerbu Indonesia karena kekayaan
negeri ini yang sangat besar artinyabagi kelangsungan perang Pasifik dan sesuai
pula dengan cita-cita politik ekspansinya. Dibalik itu, mereka
mempropagandakan semboyan Hakko Ichiu atau semboyan “kemakmuran
bersama Asia Timur Raya”. Mereka menyatakan bahwa mereka berjuangmati-matian
melakukan “perang suci” (melawan sekutu) demi kemakmuran bersama AsiaTimur Raya
dan Jepang sebagai pemimpinnya. Dalam konsep Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia
Timur Raya tersebut, Jepang akan menjadi pusat kendali atas delapan wilayah
yakni: Manchuria, daratan Cina, kepuluan Muangtai, Malaysia, Indonesia
dan Asia Rusia.Namun demikian tujuan pendudukan militer Jepang lama kelamaan
menjadi penindasan. Ada dua kebijakan pemerintah pendudukan militer Jepang
yakni menghapuskan semua pengaruh Barat di Indonesia melalui “pen-Jepang-an” dan memobilisasi segala
kekuatan dan sumber yang adauntuk mencapai kemenangan perang Asia Timur Raya.
Keadaan
sistem pendidikan Islam masa penjajahan Jepang dengan Belanda mengalami
perbedaan dan rakyat Indonesia sangat mengetahui itu. Namun demikian bukan
berarti kebijakan tersebut tidak ada dampak pisitifnya bagi masyarakat Indonesia,
justru masyarakat Indonesia terutama umat Islam bisa mengambil keuntungan besar
dari kebijakan-kebijakan Jepang tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar
belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka kami ingin membahas dua
hal pokok dalam makalah ini yang kami rumuskan
dalam bentuk rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apakah
perbedaan sistem pendidikan Islam masa penjajahan Jepang dengan Belanda?
2.
Bagaimana
pandangan bangsa Indonesia tentang Jepang?
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan dalam
membahas masalah ini adalah untuk
mengetahui bagaimana :
1.
Perbedaan
sistem pendidikan Islam masa penjajahan Jepang dengan Belanda.
2.
Pandangan
bangsa Indonesia tentang Jepang.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PERBEDAAN PENDIDIKAN
ISLAM MASA PENJAJAHAN BELANDA DENGAN MASA PENJAJAHAN JEPANG
1. PENDIDIKAN ISLAM MASA PENJAJAHAN BELANDA
Penaklukan bangsa Barat
atas dunia Timur dimulai dengan jalan perdagangan,kemudian dengan kekuatan
militer. Selama zaman penjajahan Barat itu berjalanlah proses westernisasi Indonesia.
Kedatangan bangsa Barat memang telah membawa kemajuan teknologi. Tetapi
tujuannya adalah untuk meningkaatkan hasil penjajahannya,bukan untuk kemakmuran
bangsa yang dijajah. Begitu pula di bidang pendidikan. Mereka memperkenalkan
sisitem dan metode baru tetapi sekedar untuk menghasilkan tenaga yang dapat
membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan dengan jika
mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat. Apa yang mereka sebut pemabaharuan
pendidikan itu adalah westernisasi dari kristenisasi yakni untuk kepentingan
Barat dan Nasrani. Di samping itu sebagai bangsa penjajah pada umumnya mereka
menganut pikiran Machievelli yang menyatakan antara lain:
1) Agama
sangat diperlukan bagi pemerintah penjajah
2) Agama
tersebut dipakai untuk menjinakkan dan menaklukan rakyat.
3) Setiap
aliran agama yang dianggap palsu oleh pemeluk agama yang bersangkutan harus
dibawa untuk memecah belah dan agar mereka berbuat untuk mencari bantuan kepada
pemerintah.
4) Janji
dengan rakyat tak perlu ditepati jika merugikan.
5) Tujuan
dapat menghalalkan segala cara.[1]
Sejak dari zaman VOC(Belanda
Swasta)kedatangan mereka di Indonesia sudah bermotif ekonomi,politik dan agama.
Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi
pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan
komersial. Berbeda dengan kondisi di negeri Belanda sendiri dimana lembaga
pendidikan dikelola secara bebas oleh organisasi-organisasi keagamaan, maka
selama abad ke-17 hingga 18 M, bidang pendidikan di Indonesia harus berada
dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC. Jadi, sekalipun penyelenggaraan
pendidikan tetap dilakukan oleh kalangan agama (gereja), tetapi mereka adalah
berstatus sebagai pegawai VOC yang memperoleh tanda kepangkatan dan gaji. Dari
sini dapat dipahami, bahwa pendidikan yang ada ketika itu bercorak keagamaan
(Kristen Protestan). Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan
sebagai berikut:
1.
Pendidikan Dasar
2. Sekolah Latin
3. Seminarium Theologicum (Sekolah
Seminari)
4. Academie der Marine (Akademi Pelayanan)
5. Sekolah Cina
6. Pendidikan Islam
Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga
yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal
masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda
akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini,
pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya. Beberapa
prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di
bidang pendidikan antara lain:
(1)
Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu
(2)
Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu
mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial
(3)
Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada
di Jawa
(4)
Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang
dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah
kolonial.
Maka pada tahun 1901 muncullah apa yang disebut dengan politik ETIS yakni
politik balas budi bangsa Belanda kepada Indonesia. Pencetus politik ini adalah
Van Deventer, yang kemudian politik ini dikenal juga dengan Trilogi Van
Deventer. Secara umum isi dari politik ETIS ini ada tiga macam yaitu, Education
(pendidikan), Imigrasi (perpindahan penduduk) dan Irigasi (pengairan). Yang
akan dikupas adalah mengenai education atau pendidikan.
Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak
diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut:
1)
Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS,
HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah
peralihan.
2)
Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan
pendidikan kejuruan.
3)
Pendidikan tinggi.
Dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan Islam pada zaman kolonial Belanda
tidak mendapat rintangan.hal ini ditandai dengan bermunculanya lembaga-lembaga
pendidikan yang semuanya berjalan dengan lancar walaupun terlihat abiturienya
tidak bisa diterima oleh mereka dan yakin kalau kesadaran dari pihak Islam
telah timbul untuk tidak bekerja pada Belanda yang telah menjadi perintang
kemajuan bangsa. Kenyataan seperti ini sayang msih berlaku sampai sekarang
sehingga orang-orang Islam kurang berperan dalam pemerintahan. Hal ini tentu
penyebabnya adalah melemahnya kekuatan politik Islam walaupun Islam di
Indonesia mencapai jumlah yang sangat banyak.[2]
2. PENDIDIKAN ISLAM
MASA PENJAJAHAN JEPANG
Jepang menjajah Indonesia setelah mengusir Hindia Belanda dalam perang dunia ke
II .Mereka mangusai Indonesia pada tahun 1942.
Pada babak pertamanya pemerintah Jepang menampakkan diri seakan-akan
membela kepentingan Islam,yang merupakan suatu siasat untuk kepentingan Perang
Dunia Ke II.
Untuk
mendekati umat Islam Indonesia mereka menempuh kebijaksanaan antara lain:
1)
Kantor Urusan Agama yang pada zaman Belanda disebut:Kantor Voor Islamistische
Saken yang dipimpin oleh orang-orang Orientalisten Belanda,diubah oleh Jepang
menjadi Kantor Sumubi yang dipimpin oleh ulama Islam sendiri yaitu K.H.Hasyim
Asy’ari dari Jombang dan di daerah-daerah dibentuk Sumuka.
2)
Pondok pesantren yang besar-besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari
pembesar-pembesar Jepang
3) Sekolah
negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik denagn ajaran agama.
4)
Disamping itu pemerintah Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hisbullah
untuk memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam.barisan ini
dipimpin oleh K.H.Zainul Arifin.
5) Pemerintah
Jepang mengizinkan berdirinya Sekolag Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin
oleh K.H.Wahid Hasyim,kahar Muzakir dan Bung Hatta.
6) Para
ulama Islam bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin nasioanalis diizinkan
membentuk barisan Pembela Tanah Air (Peta).
7) Umat
Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut:Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan.[3]
.
Maksud dari pemerintah Jepang adalah
supaya kekuatan umat Islam dan nasionalis dapat dibina untuk kepentingan perang
Asia timur Raya yang dipimpin oleh Jepang
Perang Dunia ke II menghebat dan
tekanan pihak sekutu kepada Jepang makin berat.Beberapa tahun menjelang
berakhirnya perang itu tampak semakin jelas betapa beratnya Jepang
mengahadapi musuh dari luar dan oposisi dari rakyat Indonesia sendiri.Dari segi
militer dan sosial politik di Indonesia Jepang menampakkan diri sebagai
penjajah yang sewenang-wenang dan lebih kasar daripada penjajah Belanda.Kekayaan
bumi Indonesia dikumpulkan secara paksa untuk membiayai perang Asia Timur
Raya,sehingga rakyat menderita kelaparan dan hampir telanjang karena kekurangan
pakaian.Di samping itu rakyat dikerahkan kerja keras(romusha) untuk kepentingan
perang.
Jepang membentuk badan-badan
pertahanan rakyat seperti Haihoo,Peta,Keibodan,Seinan dan lain
sebagainya,sehingga penderitaan rakyat lahir dan batin makin tak tertahankan
lagi.Maka timbullah pemberontakan-pemberontakan baik dari golongan Peta di
Blitar Kyai yang ditangkap dan dipenjarakan oleh Jepang.
Dunia pendidikan secara umum
terbengkalai,karena murid-murid sekolah tiap hari hanya disuruh gerak
badan,baris barbaris,bekerja bakti(romusha),bernyanyi dan lain sebagainya.Yang
masih agak beruntung adalah madrasah-madrasah yang berada dalam lingkungan
pondok pesantren yang bebas dari pengawasan langsung pemerintah Jepang.Pendidikan
dalam pondok pesantren masih dapat berjalan dengan agak wajar.[4]
Pendidikan
Islam zaman penjajahan Jepang dimulai pada tahun 1942-1945, sebab bukan hanya Belanda
saja yang mencoba berkuasa di Indonesia.
Dalam perang pasifik (perang dunia ke II), Jepang memenangkan peperangan pada
tahun 1942 berhasil merebut Indonesia dari kekuasaan Belanda. Perpindahan
kekuasaan ini terjadi ketika kolonial Belanda menyerah tanpa sayarat kepada
sekutu. Penjajahan Jepang di Indonesia mempunyai konsep hokko ichiu (kemakmuran
bersama asia raya) dengan semboyan asaia untuk asia Jepang mengumumkan rencana
mendirikan lingkungan kemakmuran bersama asia timur raya pada tahun 1940. Jepang
akan menjadi pusat lingkungan pengaruh atas delapan daerah yakni: manchuria,
daratan cina, kepuluan muangtai, malaysia, Indonesia, dan asia rusia.
Lingkungan kemakmuran ini disebut dengan hakko I chi-u (delapan benang dibawah
satu atap).
Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang
mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan
ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang
sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan
pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang
Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang
kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki
implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal
tersebut antara lain:
1. Dijadikannya
Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda
2.
Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan
berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Sementara
itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:
1.
Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum
orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim
Asy’ari.
2.
Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang;
3.
Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni
kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin.
4.
Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H.
Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta.
5.
Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air
(PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan
6.
Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun
kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU Lepas
dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika
itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah
tercapainya kemerdekaan.[5]
Kepercayaan Jepang ini dimanfaatkan juga oleh umat Islam untuk bagkit
memberontak melawan Jepang sendiri. Pada tanggal 8 juli 1945 berdirilah sekolah
tinggi Islam di Jakarta. Kalau ditinjau dari segi pendidikan zaman Jepang umat Islam
mempunya kesempatan yang banyak untuk memajukan pendidikan Islam, sehingga
tanpa disadari oleh Jepang sendiri bahwa umat Islam sudah cukup mempunyai
potensi untuk maju dalam bidang pendidikan ataupun perlawanan kepada penjajah. Sistem
pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai
berikut:
(1)
Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk
SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3
atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda.
(2)
Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama)
dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga
dengan lama studi 3 tahun.
(3)
Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain
di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
(4)
Pendidikan Tinggi.
Disini
beberapa tujauan pendidikan Islam ketika zaman penjajahan antara lain:
a.
Azaz tujuan muhamadiyah: mewujudkan masyarakat Islam yang sebenarnya dan azaz
perjuangan dakwah Islamiyyah dan amar ma’ruf nahi Munkar
b.
INS(Indonesische Nadelanshe School) dipelopori oleh Muhammad syafi’i (1899-1969)
bertuan memdidik anak untuk berpikir rasional, mendidik anak agar bekerja
sungguh-sungguh, membentuk manusia yang berwatak dan menanam persatuan.
c.
Tujuan Nahdlatul Ulama’, sebelum menjadi partai politik memgang teguh mahzab
empat, disamping mejadi kemaslahatan umat Islam itu sendiri.
Kesimpulanya ialah bahwa tujuan
pendidikan Islam yang pertama adalah menanamkan rasa keIslaman yang benar guna
kepentingan dunia dan Akhirat, dan yang kedua membelah bangsa dan tanah air
untuk memdapatkan kemerdekaan bangsa itu sendiri ataupun kemerdekaan secara
manusiawi.[6]
B.
PANDANGAN BANGSA INDONESIA TENTANG JEPANG
Ternyata bangsa Indonesia cepat
sadar bahwa Jepang mempunyai tujuan sangat buruk ingin me-Nippon-kan bangsa
Indonesia. Umat Islam Indonesia juga sadar bahwa Jepang ingin menghapus Islam
dan menggantikannya dengan Shintiosme, tetapi muslim Indonesia melawan baik. Di
lain pihak Jepang juga menyadari bahwa muslim Indonesia beserta ulamanya
bukanlah sesuatu yang mudah dibentuk atau diarahkan. Oleh karena itu, Jepang
mencoba untuk meminta maaf dan berjanji
untuk mengkaji lebih dalam[7].
Namun apabila dikaji lebih lanjut, kenapa Jepang ingin meminta maaf adalah
karena pada waktu itu Jepang membutuhkan bantuan bangsa Indonesia untuk
memenagkan perang. Oleh karena itu, umat islam tetap dalam pendiriannya todak
percaya kepada Jepang.
Sikap umat umat Islam diperlihatkan
oleh ulama-ulama secara individual menimbulkan pemberontakan lokal seperti yang
dilakukan Teungku Abdul Jalil (30 tahun), seorang pemimpin dayah di Cot Plieng Bayu (bekas pusat kerajaan Samudera pasai). Ia
mengatakan bahwa Jepang lebih buruk dari Belanda dengan kata-kata Aceh yang
artinya “ Kita usir anjing yang masuk babi, jika anjing yang najis hanya
moncongnya maka babi seluruh tubuhnya haram” Perang terjadi bulan Agustus 1942.
Pemberontakan Abdul Jalil dapat dikalahkan dan kepala Teungku Abdul Jalil
dipancung dan dipamerkan kepada rakyat. Tindakan ini menambah kebencian rakyat
Aceh.
Di Kalimantan muncul pemberontakan
pemuda Muhammadiyah di Pontianak, direncanakan 8 Desember 1943. Di Jawa,
dipimpin oleh K.H Zaenal Mustafa pemimpin pesantren Sukamanah Singaparna
Tasikmalaya, pemberontakan meletus bulan Februari 1944. Walaupun perang
akhirnya kalah, tetapi semangat perlawanan Muslim Indoneasia tidak pernah padam.
Tiga bulan kemudian pada bulan Mei 1944 muncul pemberontakan di Indramayu
dipimpin oleh H. Madrais dibantu H. Kartiwa dan Kiai Mukasan. Perlawanan juga
muncul di Karang Ampel. Menjelang tanggal 14 ferbuari 1945 pecah pemberontakan
di Blitar yang dilakukan oleh anggota datasemen Peta.
Dari pemberontakan-pemberontakan itu
dapat disimpulkan bahwa motif pemberontakan itu pada hakikatnya selain motif
kekejaman Jepang, kebrutalan Jepang, tetapi yang paling utama adalah motif
menbela agama, sedangkan yang lain adalah pemicu saja.
Organisasi muslim Indonesia
mempersiapkan kemerdekaan dan menyebarkan ajaran Islam yang sekaligus untuk
mengilangkan pengaruh Jepang. Sebagai contoh
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan
bahwa:
1). Pendidikan islam pada zaman kolonial
Belanda tidak mendapat rintangan.hal ini ditandai dengan bermunculanya
lembaga-lembaga pendidikan yang semuanya berjalan dengan lancar walaupun
terlihat abiturienya tidak bisa diterima oleh mereka dan yakin kalau kesadaran
dari pihak islam telah timbul untuk tidak bekerja pada Belanda yang telah
menjadi perintang kemajuan bangsa. Kenyataan seperti ini sayang msih berlaku
sampai sekarang sehingga orang-orang islam kurang berperan dalam pemerintahan.
Hal ini tentu penyebabnya adalah melemahnya kekuatan politik islam walaupun
islam di Indonesia mencapai jumlah yang sangat banyak.
2). Kebijakan Jepang
tersebut memberikan pengaruh cukup besar terhadap
pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam mengingat selama dalam pendudukan Belanda, pendidikan bagi rakyat menjadi hal yang sangat langka dan hanya bisa
dinikmati orang-orang tertentu saja. Sedangkan
pada masa Jepang pendidikan Islam khususnya diberi ruang penuh untuk berkembang biarpun tetap dalam
pengawasan Jepang. Namun yang
perlu digarisbawahi adalah bahwa tidak ada bangsa penjajah di manapun yang rela bangsa yang
dijajahnya lebih pintar dari yang menjajah.Dengan
kata lain kebijakan yang digariskan Jepang tersebut pada dasarnya semata-mata untuk mengeksploitasi
kekuatan Islam demi mendukung kepentingan
Jepang di tanah jajahan (Indonesia). Ini terbukti pada puncak Perang Dunia II ketika Jepang mengalami tekanan
hebat dari sekutu, maka mulai
saat itu pula Jepang menampakkan sikap kesewenang- wenangan sebagai penjajah yang mengakibatkan penderitaan lahir batin
rakyat Indonesia, khususnya
orang-orang Islam sebagai penduduk mayoritas.
B.
SARAN
Setelah kita mempelajari
pembahasan diatas maka kita dapat mengetahui
sejarah pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, alangkah baiknya kita bukan hanya
sengetahui sejarah saja akan tetapi
kita harus bisa mengaplikasikanya ke zaman sekarang dan zaman yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Ally, Abdullah H. A. Mustafa, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung, CV. Pustaka
Setia. Bandung.
Prof.Dr.H.Abudin
Natta,M.A, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta, UIN Syarif Hjidayatullah.
Prof. Dr. Musyifah Sunanto,Sejarah peradaban Islam Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada PT.
[1]
Afifuddin, Sejarah
Pendidikan, (bandung: Prosfect, 2007), hlm. 29
[2]
Ally, Abdullah H. A.
Mustafa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, CV. Pustaka Setia. Bandung.
[3] Ibid ,
hal 118
[4]
Prof.Dr.H.Abudin Natta,M.A, Sejarah
Pendidikan Islam, cetakan 1,Jakarta,2010, hal 205
[5] Ibid,
hlm 228
[6] Sartono
kartodirdjo, Sejarah nasional Indonesia
IV, Jakarta: Balai Pustaka, 1977
[7] Ibid.,
hlm 127
0 komentar:
Posting Komentar