BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR
BELAKANG MASALAH
Pada hakikatnya manusia itu harus
di didik dan harus belajar
karna Belajar merupakan aktivitas manusia yang sangat vital dan
sangat penting bagi kita sedemikan tidak berdayanya seperti bayi
manusia.sebaliknya,
tidak ada makhluk di dunia ini yang setelah dewasa mampu menciptakan apa
yang telah
di ciptakan manusia dewasa. jika bayi manusia yang baru di lahirkan tidak mendapat
bantuan
dari manusia dewasa yang lain,tidak belajar,niscaya binasalah ia. Ia tidak akan
mampu hidup sebagai manusia jika ia tidak di didik atau di ajar oleh
manusia. Benar, bahwa bayi yang baru di lahirkan telah membawa beberapa
naluri/insting dan potensi potensi yang di perlukan untuk kelangsungan
hidupnya,namun jumlahnya terbatas sekali dan potensi bawaan itu tidak akan
mungkin berkembang tanpa pengaruh dari luar.
Di samping kepandaian yang
bersifat jasmani,seperti
merangkak,berjalan dan lain sebagainya. Anak(manusia ) itu membutuhkan
kepandaian
yang bersifat rohaniah.manusia bukan hanya makhluk biologis seperti halnya dengan
hewan.
Manusia adalah makhluk sosial dan budaya. Jelasnya
kiranya,bahwa belajar sangat penting bagi kehidupan seorang manusia. Juga
mengerti pula kita sekarang, mengapa anak(manusia) membutuhkan waktu
yang lama untuk belajar sehingga menjadi manusia dewasa. Manusia
selalu dan senantiasa belajar bila manapun dan di manapun dia
berada.
B.PERUMUSAN
MASALAH
Maka untuk lebih memahami makna
belajar serta teori teori
psikologi belajar,dapat di rumuskan beberapa permasalahan yang menjadi
fokus
bahasan pada tulisan ini, yaitu:
·
Apa
yang dimaksud koneksionisme?
·
Apa
yang dimaksud pembiasaan klasik?
·
Apa
yang dimaksud pendekatan behaviorial dan kognitif sosial?
·
Apa
yang dimaksud dengan pendekatan pemrosesan informasi?
·
Apa
yang dimaksud dengan pendekatan kontruktivis sosial?
C.TUJUAN
PENULISAN
Penulisan makalah ini sebagai
salah satu tugas mata kuliah
psikologi pendidikan yang mana dalam penulisannya memiliki beberapa tujuan
penulisan
antara lain:
·
Untuk
memenuhi tugas mata kuliah
psikologi pendidikan islam.
·
Agar lebih
memahami materi psikologi
pendidikan yang terkandung dalam makalah ini.
D.
SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk mempermudah penyusunan makalah
ini, maka kami akan mencantumkan sistematika pembahasan. Adapun sistematika pembahasannnya
adalah sebagai berikut:
1. BAB
I PENDAHULUAN
Pada bab ini menjelaskan tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian dan sistematika
pembahasan.
2. BAB
II PEMBAHASAN
Bab ini menjelaskan tentang keadaan lokasi, landasan
kegiatan penelitian, jenis -jenis kegiatan penelitian, pelaksanaan penelitian
dan hasil penelitian.
3. BAB
III KESIMPULAN, SARAN,DAN PENUTUP
Pada bab ini, terdiri dari kesimpulan penulis dan pada
bagian akhir dari makalah ini dilengkapi dengan lampiran berupa daftar pustaka.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori-teori
dalam Belajar
1. Teori
Koneksionisme
Teori koneksionisme atau disebut
juga “connectionism” adalah teori
yang dikembangkan oleh
Edward L. Thorndike (1874-1949). Teori ini
berpendapat bahwa belajar merupakan hubungan antara stimulus dan respons. Itulah
sebabnya
koneksionisme disebut juga “S-R Bond Theory” dan “S-R Psychology of Learning”. Di
samping
itu, teori ini juga terkenal dengan sebutan Trial and Error Learning. Istilah
ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan
dalam mencapai suatu tujuan. Dari penjelasan teori di atas, penulis
mengemukakan
bahwa yang mendorong timbulnya fenomena peserta didik belajar adalah
semangat dan motivasi dari peserta didik itu sendiri sesuai dengan harapan
dan tujuan yang diinginkan dalam proses pembelajaran. Karena tanpa dorongan
semangat
dan motivasi dalam diri peserta didik itu sendiri tidak
akan berhasil sesuai yang dicita-citakan. Untuk itu, sebaiknya pemerintah
sebagai penentu kebijakan khususnya dalam pendidikan memberikan
apresiasi khusus terhadap keberhasilan belajar peserta
didik untuk kesejahteraannya, agar ia lebih semangat lagi dan termotivasi
dalam kegiatan belajarnya.
Dari penelitiannya, thorndike
menemukan hukum-hukum:
·
”law of readiness
(hukum kesiapsiagaan)”
Pada prinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa
kepuasan
organisme itu berasal dari pendayagunaan conduction unit(satuan
perantara).unit
unit ini menimbulkan kecendrungan yang mendorong organisme
untuk
berbuat sesuatu.jelas, hukum ini semata-mata bersikap spekulatif dan hanya
bersifat
historis.
·
”law of
exercise(hukum latihan)”
Merupakan generalisasi atas Law of use dan law of disuse. Jika perilaku(perubahan hasil belajar) sering dilatih atau di gunakan maka
eksistensi
perilaku tersebut akan semakin kuat(law of use),begitupun sebaliknya.
·
”law of
effect”
Bila mana trerjadi hubungan antara stimulus dan respon dan di barengi
dengan
”state of affair” yang memuaskan maka hubungan itu menjadi lebih kuat dan
begitu pula
sebaliknya. [1]
2. Teori Pembiasan Klasik
Pengkondisian Klasik atau Classical conditioning adalah sebuah
prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum
terjadinya refleks tersebut (Terrace, 1973). Teori iini ditemukan
secara
kebetulan oleh Pavlov di dekade 1890-an. Menurut Ivan Pavlov, aktivitas
organisme dapat dibedakan atas :
a)
Aktivitas
yang bersifat reflektif
Aktivitas organisme yang tidak disadari oleh organisme yang bersangkutan.
Organisme membuat respons tanpa disadari sebagai reaksi terhadap stimulus
yang
mengenainya.
b)
Aktivitas
yang disadari
Aktivitas yang disadari merupakan aktivitas atas kesadaran
organisme yang bersangkutan. Ini merupakan respons atas dasar kemauan sebagai suatu
reaksi terhadap stimulus yang diterimanya. Ini
berarti
bahwa stimulus yang diterima oleh organisme itu sampai di pusat
kesadaran dan barulah terjadi suatu respons. Dengan demikian maka jalan yang ditempuh
oleh stimulus dan respons atas dasar kesadaran lebih panjang
apabila dibandingkan dengan stimulus dan respons yang tidak disadari
atau
respons yang reflektif.
Menurut Pavlov, dua proses dasar
yang mengatur semua
aktifitas sistem saraf sentral adalah excitation (eksitasi) dan
inhibition
(hambatan). Pavlov berspekulasi bahwa setiap kejadian di lingkungan
berhubungan
dengan beberapa titik di otak dan saat kejadian ini dialami, ia cenderung
menggairahkan
atau menghambat aktivitas otak. Pola eksitasi dan hambatan yang
menjadi
karakteristik otak ini oleh Pavlov disebut cortical mosaic (mosaik kortikal),
pada satu momen
akan menentukan bagaimana organisme merespons lingkungan. Jadi,
bisa disimpulkan bahwa:
1.
Kita
belajar tentang sesuatu hanya
apabila kita memprosesnya secara aktif.
2.
Serta kita memproses sesuatu secara aktif hanya ketika sesuatu itu
mengejutkan, saat kita belum memahaminya.
Prinsip Pavlovion sulit untuk diaplikasikan ke pendidikan kelas, meskipun
prinsip itu
ada. Secara umum, teori pengkondisian klasik ini terjadi pada setiap
kejadian
netral. Misalnya, seorang peserta didik yang menemukan bahwa konselor
sekolahnya
memiliki sikap dan perilaku yang baik dan menyenangkan bagi dirinya. Maka,
ia akan
termotivasi untuk memiliki sikap seperti gurunya ataupun dia dapat terilhami
untuk
berkarier menjadi seorang konselor nantinya. Hal ini selaras dengan seseorang
yang
mengembangkan aversi terhadap
pendidikan seumur hidup karena adanya pengalaman buruk yang ia alami pada saat belajar di kelas
dahulu.
Teknik Pavlovion dipakai untuk memnodifikasi perilaku, situasi tampak
menyerupai brainwashing
daripada pendidikan. Contoh dari prinsip Pavlovion yang digunakan
untuk memodifikasi sikap adalah iklan televisi. Pengiklanan
menyandingkan
suatu objek dengan sesuatu yang lain. Secara bertahap, iklan itu akan
menyebabkan
pemirsa menganggap produk
itu membuat mereka untuk memiliki atau merasakan situasi yang ditampilkan di iklan.
3. Pendekatan Behavioral dan Kognitif Sosial
Pendekatan behavioristik di
kemukakan oleh para psikolog behavioristik. Mereka ini sering disebut
”Contemporary behaviorist” atau juga disebut ”S-R psychologists”. Mereka
berpendapat, bahwa tingkah laku manusia itu di kendalikan oleh ganjaran (reward)
atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku
belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi reaksi behavioral dengan
stimulasinya.
Guru-guru yang menganut pandanagan
ini berpendapat bahwa
tingkah laku murid murid merupakan reaksi reaksi terhadap lingkungan
mereka pada
masa lalu dan masa sekarang dan Bahwa segenap tingkah laku merupakan hasil
belajar.
Kita dapat menganalisis kejadian tingkah laku dengan jalan
mempelajari latar belakang penguatan terhadap tingkah laku tersebut.
Teori ini
juga di sebut dengan aliran tingkah laku. Pandangan tentang belajar menurut
aliran tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan
respon. Atau dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang di alami
siswa dalam hal kemampuanya untuk bertingkah laku dengan cara yang
baru sebagai interaksi antara stimulus dan respon.
Dalam teori pendekatan dalam kognitif
sosial ini, tingkah laku
seseorang tidak hanya di kontrol oleh ”reward” dan reinforcement”. Mereka ini
adalah para ahli jiwa aliran kognitifis. Menurut pendapat mereka,tingkah
laku seseorang senantiasa di dasarkan pada kognisi,yaitu tindakan
mengenal atau memikirkan situasi di mana tingkah laku itu terjadi. Dalam
situasi belajar,seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh
”insight”
untuk pemecahan masalah. Jadi kaum kognitif berpandangan,bahwa tingkah laku
seseorang
lebih bergantung kepada insigh terhadap hubungan hubungan yang ada di dalam
suatu
situasi.
Psikologi kognitif mulai
berkembang dengan lahirnya
teori belajar ”gestalt” .pelatak dari psikologi gestalt adalah Mex Werteimer
(1886-1943)yang
meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Suatu konsep yang
terpenting
dalam psokologi gestalt adalah tentang ”insight” ,yaitu
pengamatan atau pemahaman mendadaka terhadap hubungan hubungan antar
bagian
bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Insigh itu sering di hubungkan
dengan
pernyataan spontan ”aha” atau ”oh, I see now” .
4. Pendekatan Pemrosesan Informasi
Informasi Robert Gagne Robert. M. Gagne sebagaimana yang
dikutip
oleh Bambang Warsita, dalam bukunya : The Conditioning of Learning
mengemukakan
bahwa ; Learning is a change in human disposition or capacity, wich
persists over a period time, and wich is not simply ascribable to
process of growth. Belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan
manusia
setelah belajar secara terus menerus, bukan hanya disebabkan oleh
proses
pertumbuhan saja. Dan Gagne menyatakan bahwa belajar merupakan
seperangkat
proses yang bersifat internal bagi setiap individu sebagai hasil
transformasi
rangsangan yang berasal dari peristiwa eksternal di lingkungan individu
yang
bersangkutan (kondisi).
Penjelasan lebih lanjut dari
Bambang Warsita, bahwa
berdasarkan kondisi internal dan eksternal ini, Gagne menjelaskan
bagaimana
proses belajar itu terjadi. Model proses belajar yang dikembangkan oleh
Gagne
didasarkan pada teori pemrosesan informasi, yaitu sebagai berikut :
1.
Rangsangan
yang diterima panca indera
akan disalurkan ke pusat syaraf dan diproses sebagai informasi.
2.
Informasi
dipilih secara selektif, ada yang dibuang, ada yang disimpan dalam memori jangka
pendek, dan ada yang disimpan dalam memori jangka panjang.
3.
Memori-memori
ini tercampur dengan memori
yang telah ada sebelumnya, dan dapat diungkap kembali setelah
dilakukan
pengolahan.
Seperangkat proses yang bersifat internal yang dimaksud oleh Gagne adalah
kondisi
internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai
hasil
belajar dan terjadinya proses kognitif dalam diri
individu Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan
yang
mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Karena itulah Gagne membuat beberapa rumusan untuk menghubungkan
keterkaitan
antara faktor internal dan eksternal dalam pembelajaran dalam rangka
memaksimalkan
tercapainya tujuan pembelajaran.
1.
Gagne
membuat rumusan yang berisi
urutan untuk menimbulkan peristiwa pembelajaran, yaitu :
a.
Pembelajaran
yang dilakukan dikondisikan
untuk menimbulkan minat peserta didik, dan dikondisikan agar
perhatian
peserta didik terpusat pada pembelajaran sehingga mereka siap
untuk
menerima pelajaran.
b.
Memulai
pelajaran dengan menyampaikan
tujuan pembelajaran agar peserta didik mengetahui apa yang
diharapkan
setelah menerima pelajaran.
c.
Guru harus
mengingatkan kembali konsep
yang telah dipelajari sebelumnya.
d.
Guru siap
untuk menyampaikan
materi
pelajaran.
e.
Dalam
pembelajaran guru
memberikan
bimbingan atau pedoman kepada siswa untuk belajar.
f.
Guru
memberikan motivasi untuk memunculkan respon siswa.
g.
Guru
memberikan umpan balik atau penguatan atas respon yang diberikan siswa baik dalam
bentuk lisan maupun tulisan.
h.
Mengevaluasi
hasil belajar, dan
i.
Memperkuat
retensi dan transfer belajar.
2.
Gagne
membuat 7 macam pengelompokan
media, yaitu :
·
Benda
untuk didemostrasikan
·
Komunikasi
lisan
·
Media cetak
·
Gambar diam
·
Gambar
gerak
·
Film
bersuara, dan
·
Mesin belajar.
3.
Gagne
merumuskan “ The domains of
Learning “, yaitu :
Kemampuan belajar manusia yang terbagi kepada lima kategori :
a.
Motor/skill
: ketramppilan motorik.
b.
Informasi
verbal : dapat menjelaskan sesuatu dengan berbicara, menulis, menggambar.
c.
Kemampuan
intelektual, yaitu
kemampuan
manusia dalam berinteraksi dengan dunia luar yang berkaitan
dengan
symbol-simbol.
d.
Strategi
kognitif : organisasi keterampilan
yang internal.
e.
Sikap.
4.
Gagne
membuat rumusan tahapan dalam
tujuan dan tingkatan belajar :
Tahapan
tujuan belajar diawali dari yang mudah (rendah), sedang, ke sulit (tinggi), dan
tahapan ini berbanding lurus dengan tahapan proses belajar, yaitu
dari yang
paling sederhana ke yang kompleks. Adapun tingkatan belajar ada
empat :
belajar fakta, belajar konsep, belajar prinsip, dan
pemecahan masalah.
Toeti
Soekamto menambahkan bahwa untuk dapat memecahkan masalah seorang harus terlebih
dahulu belajar prinsip, dan sebelum belajar prinsip, maka ia harus
belajar
konsep terlebih dahulu yang sifatnya lebih mudah.
5. Pendekatan Konstruktivis Sosial
Teori konstruktivisme adalah salah
satu dari banyak teori belajar
yang telah didesain dalam pelaksanaan pembelajaran matematika. Seperti halnya
behaviorisme
dan kognitivisme, konstruktivisme dapat diterapkan dalam berbagai aktivitas
belajar baik pada ilmu-ilmu sosial maupun ilmu eksakta. Dalam matematika,
konstruktivisme telah banyak diteliti, diterapkan, dan diuji coba pada
situasi ruangan kelas yang berbeda-beda. Dari berbagai percobaan itu
telah banyak menghasilkan berbagai pandangan yang ikut mempengaruhi
perkembangan, modifikasi, dan inovasi pembelajaran. Lahirnya berbagai
pendekatan seperti pembelajaran kooperatif, sosio-kultur, pembelajaran
kontekstual, dan lain-lain merupakan hasil inovasi dan modifikasi dari teori
pembelajaran.
Belajar menurut konstruktivisme
adalah suatu proses
mengasimilasikan dan mengkaitkan pengalaman atau pelajaran yang dipelajari
dengan pengertian yang sudah dimilikinya, sehingga pengetahuannya
dapat dikembangkan.
Teori Konstruktivisme
didefinisikan sebagai pembelajaran
yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa
yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat
belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon,
kontruktivisme
lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan
pengetahuan
dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya.
Konstruktivisme
sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam
kehidupan
kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan
pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan
dan menjadi
lebih dinamis.
Menurut teori ini, satu prinsip
yang mendasar adalah guru tidak
hanya memberikan pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus
berperan aktif membangun sendiri pengetahuan di dalam memorinya. Dalam
hal ini, guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi
kesempatan
kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide – ide mereka sendiri, dan
mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka
sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang membawa
siswa ke tingkat pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa
sendiri yang mereka tulis dengan bahasa dan kata – kata mereka sendiri.
Dari uraian tersebut dapat
dikatakan, bahwa makna belajar menurut
konstruktivisme adalah aktivitas yang aktif, dimana pesrta didik
membina sendiri pengtahuannya, mencari arti dari apa yang mereka pelajari
dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan idea-idea baru
dengan kerangka berfikir yang telah ada dan dimilikinya (Shymansky,1992).
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan
mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan teori
behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat
mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih
memahami
belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan
dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamannya. Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain,
karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang
diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif dimana terjadi
proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan
sehingga terbentuk suatu skema yang baru.
Teori konstruktivisme juga
mempunyai pemahaman tentang
belajar yang lebih menekankan pada proses daripada hasil.
Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara
dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar,
hasil belajar, cara belajar, dan strategi belajar akan mempengaruhi
perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. Sebagai upaya memperoleh
pemahaman atau pengetahuan, siswa ”mengkonstruksi” atau membangun
pemahamannya
terhadap fenomena yang ditemui dengan menggunakan pengalaman, struktur
kognitif,
dan keyakinan yang dimiliki. Dengan demikian, belajar menurut teori
konstruktivisme
bukanlah sekadar menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui
pengalaman.
Pengetahuan bukanlah hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru,
akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap
individu. Pengetahuan hasil dari ”pemberian” tidak akan bermakna. Adapun
pengetahuan
yang diperoleh melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap
individu akan memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan
lebih lama tersimpan/diingat dalam setiap individu.
Adapun tujuan dari teori ini
adalah sebagai berikut:
·
Adanya
motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
·
Mengembangkan
kemampuan siswa untuk mengejukan
pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.
·
Membantu
siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
·
Mengembangkan
kemampuan siswa untuk menjadi
pemikir yang mandiri.
·
Lebih
menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Salah satu teori atau pandangan
yang sangat terkenal
berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan
mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori
perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan
dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap
perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap
tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri
tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap
sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988:
132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal
sebagai konstruktivis
pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut
dibangun
dalam pikiran anak melalui asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi
adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru,
sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988:133).
Pengertian tentang akomodasi yang
lain adalah proses mental
yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau
memodifikasi
skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Konstruktivis
ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi
suatu
konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial.
6. Teori-teori
Belajar dalam Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam
Manusia diciptakan Allah swt,
dalam struktur yang paling
baik di antara makhluk Allah yang lain. Struktur manusia
terdiri atas unsur jasmaniah (fisikologis) dan rohaniah (psikologis).
Dalam struktur jasmaniah dan rohaniah itu, Allah memberikan
seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang, dalam
psikologi
disebut potensialitas atau disposisi, yang menurut aliran
psikologi behaviourisme disebut prepotence reflexes (kemampuan dasar yang
secara
otomatis dapat berkembang). Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan
mengalami
perkembangan sampai kepada proses pembelajaran.
Dalam perkembanganya merupakan suatu konsep-konsep atau teori-teori dalam
aktivitas kegiatan belajar-mengajar. Dalam kaitanyan dengan proses pembelajaran, ditemukan ada
beberapa teori yang telah dikenal secara umum, diantaranya: teori fitrah,
teori psikologi daya, dan teori gestalt.
1. Teori Fitrah
Dalam pandangan agama Islam
kemampuan dasar atau pembawaan
itu disebut dengan fitrah, kata yang berasal dari fathara, dalam pengertian
etimologis
mengandung arti kejadian. Kata fitrah disebutkan dalam al-Qur'an
surah.Ar-Ruum/30:30
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Di samping itu terdapat hadis
Rasulallah saw.:
Abu
Mu'awiyah menceritakan kepada kami, dari al- A'masy
dari Abi Shalih dari Abi Hurairah r.a berkata: Rasulallah saw. telah bersabda:
setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang
menjadikannya yahudi, nasrani, atau musyrik. (HR Ahmad).
Dari pengertian al-Qur'an dan
Hadis di atas, dapat diambil
pengertian secara terminologis sebagai berikut:
a.
Mengandung
implikasi pendidikan yang berkonotasi kepada paham nativisme. Oleh karena kata fitrah
mengandung makna kejadian yang di dalamnya berisi potensi dasar beragama yang
benar
lurus, yaitu Islam. Dengan potensi dasar ini tidak dapat
diubah oleh siapa pun atau lingkungan apa pun, karena fitrah itu merupakan ciptaan
Allah yang
tidak akan mengalami perubahan baik isi maupun bentuknya dalam tiap pribadi
manusia.
Dengan
demikian, ilmu pendidikan agama Islam bisa dikatakan berfaham nativisme, yaitu suatu paham yang
menyatakan bahwa perkembangan manusia dalam hidupnya secara mutlak
ditentukan oleh potensi dasarnya.
b.
Mengandung
kecenderungan netral, dijelaskan dalam al-Qur'an surah An-Nahl/16: 78 Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun,
dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur. Menurut Mohammad Fadhil al-Djamaly yang dikutip M. Arifin
mengatakan, bahwa ayat di atas menjadi petunjuk untuk melakukan usaha
pendidikan
secara eksternal oleh peserta didik.
Dengan
demikian, pengertian fitrah menurut interpretasi kedua ini, tidak dapat sejalan dengan empirisme, karena
faktor fitrah tidak hanya mengandung kemampuan dasar pasif yang
beraspek
hanya pada kecerdasan semata dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu
pengetahuan,
melainkan mengandung pada tabiat atau watak dan kecenderungan untuk mengacu
kepada
pengaruh lingkungan eksternal sekalipun tidak aktif.
c.
Konsep
al-Qur'an yang menunjukkan, bahwa tiap manusia diberikan kecenderungan nafsu untuk menjadikanya
kafir bagi yang ingkar terhadap Tuhannya dan kecenderungan yang membawa
sikap bertaqwa, menaati perintah Allah swt. Jelaslah bahwa
faktor kemampuan memilih yag terdapat dalam fitrah (human nature) manusia
berpusat
pada kemampuan berfikir sehat (berakal sehat), karena
akal sehat mampu membedakan hal-hal yang benar dan yang salah. Sedangkan
yang mampu
memilih yang benar secara tepat hanyalah orang-orang berpendidikan sehat.
Sejalan
dengan interpretasi tersebut, maka dikatakan bahwa pengaruh faktor lingkungan
yang sengaja adalah pendidikan dan latihan berproses interaktif dengan
kemampuan fitrah manusia.
Dalam
pengertian ini, pendidikan agama Islam berproses secara konvergensis yang dapat membawa kepada
paham konvergensi dalam pendidikan agama Islam. Dari uraian di
atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu pendidikan agama Islam dapat berorientasi
pada salah satu paham filosofis saja atau campuran paham tesebut di
atas. Namun apa pun paham filosofis yang dijadikan dasar pandangan,
ilmu pendidikan agama Islam tetap berpijak pada kekuatan hidayah
Allah swt, yang menentukan hasil akhir.
d.
Komponen
psikologis dalam fitrah. Jika
diperhatikan berbagai pandangan para ulama dan ilmuwan Islam
yang telah memberikan makna terhadap istilah fitrah, maka dapat diambil
kesimpulan
bahwa fitrah adalah suatu kemampuan dasar perkembangan manusia yang
dianugerahkan Allah swt. kepadanya. Karena memang manusia itu lahir bagaikan
kertas putih bersih belum ada yang memberi warna apa pun dalam dirinya,
apakah ia menjadikannya sebagai Majusi, Nasrani, atau agama yang
lurus yaitu Islam, ini tergantung kepada orang tua atau orang dewasa yang
membimbingnya, sehingga dengan sentuhan orang lain atau lingkungan
sekitarnya
baru dapat berinteraksi terhadap yang lain. Jadi peran pendidikan sangatlah
berarti baginya. Karena dengan melalui pendidikan dapat mengetahui dari
belum tahu akan menjadi tahu.
2. Teori Psikologi Daya
Para ahli psikologi, kata daya
identik dengan raga atau
jasmani. Raga atau jasmani mempunyai tenaga atau daya, maka jiwa juga dianggap
memiliki
daya, seperti; daya untuk mengenal, mengingat, berkhayal, berpikir, merasakan,
daya menghendaki, dan sebagainya. Sebagaimana daya jasmani dapat
diperkuat dengan jalan melatihnya yaitu mengerjakan sesuatu dengan
berulang-ulang, maka daya jiwa dapat diperkuat dengan jalan melatihnya
secara berulang-ulang pula. Daya seseorang dapat dikembangkan melalui
latihan,
seperti; latihan mengamati benda atau gambar, latihan mendengarkan bunyi atau
suara, latihan mengingat kata, arti kata, latihan melihat letak suatu kota
dalam peta. Latihan-latihan tersebut dapat dilakukan dengan melalui
berbagai bentuk pengulangan.
Berdasarkan uraian di atas,
penulis berkesimpulan bahwa
setiap individu atau peserta didik memiliki sejumlah daya
atau kekuatan dalam dirinya. Daya-daya itu dapat dikembangkan dalam kegiatan
proses
pembelajaran, termasuk daya fisik, motorik dan mentalnya,
dengan latihan secara terus menerus untuk berguna bagi dirinya.
3. Teori Gestalt
Psikologi muncul dipengaruhi oleh
psikologi gestalt,
dengan
tokoh-tokohnya seperti Max Wertheimer, Wolfgang Kohler,
dan Kurt Koffka. Perkataan gestalt dalam bahasa Jerman berarti suatu
konfigurasi,
pola atau keseluruhan. Teori ini juga disebut psikologi organismik atau field
theori, yang bertolak dari suatu keseluruhan. Teori ini
berpendapat, bahwa belajar adalah bukan mengulangi
hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh insight atau
pengertian
yang mendalam. Belajar menurut pandangan ini akan semakin efektif jika
materi yang akan dipelajari itu mengandung makna, yaitu jika disusun dan
disajikan dengan cara memberi kemungkinan peserta didik untuk mengerti
apa- apa yang sebelumnya, dan menganalisis hubungan satu dengan yang
lain.
Berbeda dengan teori-teori yang
dikemukakan oleh tokoh
behaviorisme terutama thorndike menganggap bahwa belajar sebagai proses
trial and error, teori gestalt memandang belajar adalah proses yang
didasarkan pada pemahaman (insight). Karena pada dasarnya tingkah laku seseorang
selalu
didasarkan pada kognisi yaitu tindakan mengenal atau
memikirkan situasi dimana tingkah laku tersebut terjadi. Pada situasi belajar,
keterlibatan
seseorang secara langsung dalam situasi belajar tesebut akan menghasilkan
pemahaman
yang dapat membantu individu tersebut memecahkan masalah. Dengan kata
lain, teori gestalt menyatakan bahwa yang paling penting dalam
proses belajar individu adalah dimengertinya apa yang dipelajari oleh
individu tersebut. Oleh krena itu, teori gestalt ini disebut teori insight.
Pendapat tesebut, terdapat persamaan makna dengan yang dikemukakan oleh
Oemar
Hamalik yang mengatakan bahwa, prinsip pembelajaran yang
dianut oleh teori gestalt,
adalah: 1) Belajar dimulai dari suatu keseluruhan menuju bagian-bagian, 2) Keseluruhan
memberikan makna bagian-bagian tersebut, 3) Bagian-bagian dilihat dalam
hubungan keseluruhan berkat individu, 4) Belajar memerlukan pemahaman
(insight),
5) Belajar memerlukan reorganisasi pengalaman yang kontinyu.
Hal tersebut menunjukkan bahwa,
belajar dengan cara
berulang-ulang atau mengulangi dari semua materi pelajaran
akan lebih dimengerti dan lebih mudah dipahami daripada belajar tanpa
mengulangi
materi pembelajaran. Artinya bahwa, belajar itu diperlukan kesabaran, keuletan,
dan ketekunan.
Dari beberapa uraian di atas
tentang teori-teori belajar
dalam pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran Agama Islam, penulis
mengemukakan bahwa semua teori yang para ahli kemukakan dapat dipedomani sebagai
bahan
referensi dalam proses pembelajaran.
B. Macam-macam
Perwujudan Perilaku Belajar
1.
Beberapa Karakteristik Perilaku Belajar
Kita dapat
mengidentifikasi
beberapa ciri perubahan yang merupakan prilaku belajar, di antaranya :
a.
Bahwa
perubahan Intensional, dalam arti pengalaman atau praktek atau latihan itu dengan sengaja dan
disadari dilakukannya dan bukan secara kebetulan; dengan demikian perubahan
karena
kemantapan dan kematangan atau kelatihan atau karena
penyakit tidak dapat dipandang sebagai perubahan hasil belajar.
b.
Bahwa
perubahan itu positif, dalam arti sesuai seperti yang diharapkan (normatif) atau kriteria keberhasilan (
criteria of success ) baik dipandang dari segi siswa (tingkat abilitas dan bakat
khususnya,
tugas perkembengan, dan sebagainya) maupun dari segi guru (tuntutan masyarakat,
orang
dewasa sesuai dengan tingkatan standar kulturalnya).
c.
Bahwa
perubahan itu efektif, dalam arti membawa pengaruh dan makna tertentu bagi pelajar itu
(setidak-tidaknya sampai batas waktu tertentu) relatif tetap dan setiap saat
diperlukan dapat direproduksi dan dipergunakan seperti dalam pemecahan masalah
( problem solving ), baik dalam ujian, ulangan, dan sebagainya maupun dalam
penyesuaian
diri dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka
mempertahankan kelangsungan hidupnya.
2.
Makna
Manifestasi Perbuatan Belajar
Meskipun terdapat titik pertemuan
antara berbagai pendapat para
ahli apa itu hakikat, atau esensi dari perbuatan
belajar, ialah perbuatan perilaku dan pribadi, namun mengenai apa sesungguhnya
yang dipelajari dan bagaimana manifestasinya masih tetap merupakan
masalah yang mengundang interpretasi yang paling fundamental
mengenai hal ini, ialah terletak pada dasar pandangan (basic assumpton atau
basic ideas) yang dipergunakannya.
Secara singkat dari pandangan itu
dapat dirangkumkan
bahwa yang dimaksud dalam konteks belajar itu dapat bersifat fungsional atau
struktural, material dan behavioral, serata keseluruhan
pribadi (Gestalt atau sekurang kurangnya multidimensional)
b.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Belajar
Secara fundamental Dollar and
Miller (Loree, 1970 : 136)
menegaskan bahwa ke efektifan prilaku belajar itu dipengaruhi oleh empat hal,
yaitu:
a)
Adanya
motivasi ( drives ), siswa harus menghendaki sesuatu ( the learner must want something )
b)
Adanya
perhatian dan mengetahui sasaran ( cue ), siswa harus memperhatikan sesuatu ( the learner must notice
something );
c)
Adanya
usaha ( response ), siswa harus melakukan sesuatu ( the learner must dosomething );
d)
Adanya
evaluasi dan pemantapan hasil (reinforcement ), siswa harus memperoleh sesuatu ( the learner
must get something ).
c.
Pengertian
Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar merupakan
terjemahan dari istilah bahasa
Inggris learning disability. Terjemahan tersebut
sesungguhnya kurang tepat karena learning artinya belajar dan disabiliti
artinya ketidakmampuan; sehingga terjemahan yang benar seharusnya adalah ketidakmampuan belajar Kesulitan belajar
adalah suatu keadaan yang menyebabkan siswa tidak dapat belajar
sebagaimana
mestinya (Dalyono, 1997 : 229).
Definisi lain tentang kesulitan
belajar yaitu kesukaran siswa
dalam menerima atau menyerap pelajaran di sekolah. (Sabri, 1995 : 88)
Menurut
Burton, siswa diduga mengalami kesulitan belajar, apabila
siswa tidak dapat mencapai ukuran tingkat keberhasilan belajar dalam waktu
tertentu, siswa tidak dapat mewujudkan tugas-tugas perkembangan dan
tidak dapat mencapai tingkat penguasaan materi. (Makmun, 1996 : 207)
Dari beberapa definisi di atas
menunjukkan bahwa
siswa yang
mengalami kesulitan belajar, akan sukar dalam menyerap
materi-materi pelajaran yang di sampaikan oleh guru sehingga ia akan malas
dalam belajar, serta tidak dapat menguasai materi, menghindari
pelajaran, mengabaikan tugas-tugas yang diberikan guru, penurunan nilai belajar
dan prestasi belajar rendah.
1)
Faktor-faktor
Kesulitan Belajar
Faktor yang dapat menyebabkan
kesulitan belajar
di sekolah
itu banyak dan beragam. Apabila dikaitkan dengan faktor-faktor yang berperan
dalam
belajar, penyebab kesulitan belajar tersebut dapat kita
kelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri
siswa (faktor internal) dan faktor yang berasal dari luar diri siswa
(faktor eksternal).
Adapun faktor-faktor penyebab
kesulitan belajar
itu, dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
A. Faktor internal, yang meliputi:
1.
Faktor
fisiologi
2.
Faktor
psikologi
B. Faktor eksternal, yang meliputi:
1.
Faktor
orang tua
2.
Faktor
sekolah
3.
Faktor
media masa dan lingkungan sosial
4.
Faktor-faktor
lain yang juga dapat menimbulkan kesulitan belajar yaitu sindrom psikologis berupa learning disability
(ketidakmampuan belajar) (syah, 1999 : 166).
Faktor-faktor tersebut adalah:
·
Disleksia
( dyslexia) yaitu ketidakmampuan belajar membaca.
·
Disgrafia
( dysgraphia) yaitu ketidakmampuan belajar menulis.
·
Diskalkulia
( discalculia ), yaitu ketidakmampuan belajar matematika.
2)
Hakikat
Prestasi Belajar
Dalam kamus Besar Bahasa
Indonesia, yang dimaksud dengan
“Prestasi” adalah hasil yang telah dicapai (dilakukan, dikerjakan dan
sebagainya). Mengenai prestasi belajar, Sumadi Suryabrata membagi ke dalam
dua bagian, yaitu pertama, hasil belajar siswa adalah penguasaan kecakapan
yang diusahakan secara sengaja dalam suatu waktu dan satuan bahan
tertentu. kedua, hasil belajar perbedaan antara kecakapan pada awal dan
akhir proses belajar. (Sumadi. S, 1975 : 354) Di sekolah hasil
belajar dinyatakan dalam angka- angka (nilai) dalam semua mata pelajaran
yang diberikan. Jadi bentuk angka (nilai) ini merupakan lambang untuk
prestasi (hasil belajar siswa).
Adapun yang dimaksud dengan hasil
belajar siswa menurut Nana
Sudjana adalah “Seperangkat nilai-nilai yang diperoleh peserta didik setelah
melalui evaluasi yang didapat yaitu hasil belajar tingkat kognitif.”
(Sudjana, 1988 : 50). Dari pengertian-pengertian di atas dapat
disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan prestasi belajar atau hasil belajar adalah perubahan
yang terjadi pada diri siswa setelah mengikuti suatu proses belajar,
hasil belajar merupakan umpan balik yang diberikan oleh peserta didik. Hasil
belajar yang diperoleh tidak hanya sekedar berupa pengetahuan
melainkan juga dapat berbentuk prilaku yang ditunjukkan siswa.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian pada bab pembahasan di
atas, maka penulis dapat
menyimpulkan sebagai berikut:
·
Teori
merupakan sebuah sistem yang dapat diuji kebenaranya oleh siapa pun dan terbuka untuk dikaji ulang
dalam perspektif yang sama, dan mungkin dapat digantikan dengan sebuah
sistem baru, yang sudah mengalami kajian dan penelitian lain. Sedangkan
belajar merupakan proses perubahan tingkah laku manusia berdasarkan
pengalaman
dan latihan, dari belum tahu menjadi tahu, dari pengalaman yang sedikit kemudian
bertambah.
·
Teori-
teori belajar dalam pembelajaran pendidikan agama Islam meliputi:
a. Teori fitrah. Teori ini
berpendapat, bahwa
kemampuan
dasar perkembangan manusia merupakan anugrah dari Allah swt, yang
dilengkapi dengan berbagai potensi pada dirinya.
b. Teori psikoologi daya. Teori
ini berpendapat, bahwa setiap
individu atau pserta didik memiliki sejumlah daya atau kekuatan dalam dirinya
yang dapat dikembangkan dalam kegiatan proses pembelajaran baik
dari dari daya fisik, motorik maupun dari daya mentalnya dapat
dikembangkan dengan melalui latihan terus menerus.
c. Teori gestalt. Teori ini
berpendapat, belajar bukan
saja mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh
insight
(pengertian yang mendalam).
DAFTAR PUSTAKA
Hamalik, Oemar, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Cet. I; Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2007.
..........................., Kurikulum dan Pembelajaran, Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Suryabrata, Sumardi, Psikologi Pendidikan, Cet. I; Jakarta: Rajawali, 1984.
Syah, Muhibbin, Pikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. XVIII, Bandung, Remaja
Rosdakarya,
2006.
0 komentar:
Posting Komentar