PSIKOLOGI PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG MASALAH
Pada hakikatnya manusia itu harus di didik dan harus belajar karna Belajar merupakan aktivitas manusia yang sangat vital dan sangat penting bagi kita sedemikan tidak berdayanya seperti bayi manusia.sebaliknya, tidak ada makhluk di dunia ini yang setelah dewasa mampu menciptakan apa yang telah di ciptakan manusia dewasa. jika bayi manusia yang baru di lahirkan tidak mendapat bantuan dari manusia dewasa yang lain,tidak belajar,niscaya binasalah ia. Ia tidak akan mampu hidup sebagai manusia jika ia tidak di didik atau di ajar oleh manusia. Benar, bahwa bayi yang baru di lahirkan telah membawa beberapa naluri/insting dan potensi potensi yang di perlukan untuk kelangsungan hidupnya,namun jumlahnya terbatas sekali dan potensi bawaan itu tidak akan mungkin berkembang tanpa pengaruh dari luar.
Di samping kepandaian yang bersifat jasmani,seperti merangkak,berjalan dan lain sebagainya. Anak(manusia ) itu membutuhkan kepandaian yang bersifat rohaniah.manusia bukan hanya makhluk biologis seperti halnya dengan hewan. Manusia adalah makhluk sosial dan budaya. Jelasnya kiranya,bahwa belajar sangat penting bagi kehidupan seorang manusia. Juga mengerti pula kita sekarang, mengapa anak(manusia) membutuhkan waktu yang lama untuk belajar sehingga menjadi manusia dewasa. Manusia selalu dan senantiasa belajar bila manapun dan di manapun dia berada.

B.PERUMUSAN MASALAH
Maka untuk lebih memahami makna belajar serta teori teori psikologi belajar,dapat di rumuskan beberapa permasalahan yang menjadi fokus bahasan pada tulisan ini, yaitu:
·         Apa yang dimaksud koneksionisme?
·         Apa yang dimaksud pembiasaan klasik?
·         Apa yang dimaksud pendekatan behaviorial dan kognitif sosial?
·         Apa yang dimaksud dengan pendekatan pemrosesan informasi?
·         Apa yang dimaksud dengan pendekatan kontruktivis sosial?





C.TUJUAN PENULISAN
Penulisan makalah ini sebagai salah satu tugas mata kuliah psikologi pendidikan yang mana dalam penulisannya memiliki beberapa tujuan penulisan antara lain:
·         Untuk memenuhi tugas mata kuliah psikologi pendidikan islam.
·         Agar lebih memahami materi psikologi pendidikan yang terkandung dalam makalah ini.

D. SISTEMATIKA PENULISAN
            Untuk mempermudah penyusunan makalah ini, maka kami akan mencantumkan sistematika pembahasan. Adapun sistematika pembahasannnya adalah sebagai berikut:
1.      BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian dan sistematika pembahasan.
2.      BAB II PEMBAHASAN
Bab ini menjelaskan tentang keadaan lokasi, landasan kegiatan penelitian, jenis -jenis kegiatan penelitian, pelaksanaan penelitian dan hasil penelitian.
3.      BAB III  KESIMPULAN, SARAN,DAN PENUTUP
Pada bab ini, terdiri dari kesimpulan penulis dan pada bagian akhir dari makalah ini dilengkapi dengan lampiran berupa daftar pustaka.










BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teori-teori dalam Belajar
1.      Teori Koneksionisme
Teori koneksionisme atau disebut juga “connectionism” adalah teori yang dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949). Teori ini berpendapat bahwa belajar merupakan hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya koneksionisme disebut juga “S-R Bond Theory” dan “S-R Psychology of Learning”. Di samping itu, teori ini juga terkenal dengan sebutan Trial and Error Learning. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan. Dari penjelasan teori di atas, penulis mengemukakan bahwa yang mendorong timbulnya fenomena peserta didik belajar adalah semangat dan motivasi dari peserta didik itu sendiri sesuai dengan harapan dan tujuan yang diinginkan dalam proses pembelajaran. Karena tanpa dorongan semangat dan motivasi dalam diri peserta didik itu sendiri tidak akan berhasil sesuai yang dicita-citakan. Untuk itu, sebaiknya pemerintah sebagai penentu kebijakan khususnya dalam pendidikan memberikan apresiasi khusus terhadap keberhasilan belajar peserta didik untuk kesejahteraannya, agar ia lebih semangat lagi dan termotivasi dalam kegiatan belajarnya.
Dari penelitiannya, thorndike menemukan hukum-hukum:
·         ”law of readiness (hukum kesiapsiagaan)”
Pada prinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan conduction unit(satuan perantara).unit unit ini menimbulkan kecendrungan yang mendorong organisme untuk berbuat sesuatu.jelas, hukum ini semata-mata bersikap spekulatif dan hanya bersifat historis.
·         ”law of exercise(hukum latihan)”
Merupakan generalisasi atas Law of use dan law of disuse. Jika perilaku(perubahan hasil belajar) sering dilatih atau di gunakan maka eksistensi perilaku tersebut akan semakin kuat(law of use),begitupun sebaliknya.
·         ”law of effect”
Bila mana trerjadi hubungan antara stimulus dan respon dan di barengi dengan ”state of affair” yang memuaskan maka hubungan itu menjadi lebih kuat dan begitu pula sebaliknya. [1]



2.      Teori Pembiasan Klasik
Pengkondisian Klasik atau Classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut (Terrace, 1973). Teori iini ditemukan secara kebetulan oleh Pavlov di dekade 1890-an. Menurut Ivan Pavlov, aktivitas organisme dapat dibedakan atas :
a)      Aktivitas yang bersifat reflektif
Aktivitas organisme yang tidak disadari oleh organisme yang bersangkutan. Organisme membuat respons tanpa disadari sebagai reaksi terhadap stimulus yang mengenainya.
b)      Aktivitas yang disadari
Aktivitas yang disadari merupakan aktivitas atas kesadaran organisme yang bersangkutan. Ini merupakan respons atas dasar kemauan sebagai suatu reaksi terhadap stimulus yang diterimanya. Ini berarti bahwa stimulus yang diterima oleh organisme itu sampai di pusat kesadaran dan barulah terjadi suatu respons. Dengan demikian maka jalan yang ditempuh oleh stimulus dan respons atas dasar kesadaran lebih panjang apabila dibandingkan dengan stimulus dan respons yang tidak disadari atau respons yang reflektif.

Menurut Pavlov, dua proses dasar yang mengatur semua aktifitas sistem saraf sentral adalah excitation (eksitasi) dan inhibition (hambatan). Pavlov berspekulasi bahwa setiap kejadian di lingkungan berhubungan dengan beberapa titik di otak dan saat kejadian ini dialami, ia cenderung menggairahkan atau menghambat aktivitas otak. Pola eksitasi dan hambatan yang menjadi karakteristik otak ini oleh Pavlov disebut cortical mosaic (mosaik kortikal), pada satu momen akan menentukan bagaimana organisme merespons lingkungan. Jadi, bisa disimpulkan bahwa:
1.      Kita belajar tentang sesuatu hanya apabila kita memprosesnya secara aktif.
2.      Serta kita memproses sesuatu secara aktif hanya ketika sesuatu itu mengejutkan, saat kita belum memahaminya.

Prinsip Pavlovion sulit untuk diaplikasikan ke pendidikan kelas, meskipun prinsip itu ada. Secara umum, teori pengkondisian klasik ini terjadi pada setiap kejadian netral. Misalnya, seorang peserta didik yang menemukan bahwa konselor sekolahnya memiliki sikap dan perilaku yang baik dan menyenangkan bagi dirinya. Maka, ia akan termotivasi untuk memiliki sikap seperti gurunya ataupun dia dapat terilhami untuk berkarier menjadi seorang konselor nantinya. Hal ini selaras dengan seseorang yang mengembangkan aversi terhadap
pendidikan seumur hidup karena adanya pengalaman buruk yang ia alami pada saat belajar di kelas dahulu.
Teknik Pavlovion dipakai untuk memnodifikasi perilaku, situasi tampak menyerupai brainwashing daripada pendidikan. Contoh dari prinsip Pavlovion yang digunakan untuk memodifikasi sikap adalah iklan televisi. Pengiklanan menyandingkan suatu objek dengan sesuatu yang lain. Secara bertahap, iklan itu akan menyebabkan pemirsa menganggap produk
itu membuat mereka untuk memiliki atau merasakan situasi yang ditampilkan di iklan.

3.      Pendekatan Behavioral dan Kognitif Sosial

Pendekatan behavioristik di kemukakan oleh para psikolog behavioristik. Mereka ini sering disebut ”Contemporary behaviorist” atau juga disebut ”S-R psychologists”. Mereka berpendapat, bahwa tingkah laku manusia itu di kendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi reaksi behavioral dengan stimulasinya.
Guru-guru yang menganut pandanagan ini berpendapat bahwa tingkah laku murid murid merupakan reaksi reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan masa sekarang dan Bahwa segenap tingkah laku merupakan hasil belajar. Kita dapat menganalisis kejadian tingkah laku dengan jalan mempelajari latar belakang penguatan terhadap tingkah laku tersebut. Teori ini juga di sebut dengan aliran tingkah laku. Pandangan tentang belajar menurut aliran tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Atau dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang di alami siswa dalam hal kemampuanya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai interaksi antara stimulus dan respon.
Dalam teori pendekatan dalam kognitif sosial ini, tingkah laku seseorang tidak hanya di kontrol oleh ”reward” dan reinforcement”. Mereka ini adalah para ahli jiwa aliran kognitifis. Menurut pendapat mereka,tingkah laku seseorang senantiasa di dasarkan pada kognisi,yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi di mana tingkah laku itu terjadi. Dalam situasi belajar,seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh ”insight” untuk pemecahan masalah. Jadi kaum kognitif berpandangan,bahwa tingkah laku seseorang lebih bergantung kepada insigh terhadap hubungan hubungan yang ada di dalam suatu situasi.
Psikologi kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar ”gestalt” .pelatak dari psikologi gestalt adalah Mex Werteimer (1886-1943)yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Suatu konsep yang terpenting dalam psokologi gestalt adalah tentang ”insight” ,yaitu pengamatan atau pemahaman mendadaka terhadap hubungan hubungan antar bagian bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Insigh itu sering di hubungkan dengan pernyataan spontan ”aha” atau ”oh, I see now” .

4.      Pendekatan Pemrosesan Informasi

Informasi Robert Gagne Robert. M. Gagne sebagaimana yang dikutip oleh Bambang Warsita, dalam bukunya : The Conditioning of Learning mengemukakan bahwa ; Learning is a change in human disposition or capacity, wich persists over a period time, and wich is not simply ascribable to process of growth. Belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia setelah belajar secara terus menerus, bukan hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja. Dan Gagne menyatakan bahwa belajar merupakan seperangkat proses yang bersifat internal bagi setiap individu sebagai hasil transformasi rangsangan yang berasal dari peristiwa eksternal di lingkungan individu yang bersangkutan (kondisi).
Penjelasan lebih lanjut dari Bambang Warsita, bahwa berdasarkan kondisi internal dan eksternal ini, Gagne menjelaskan bagaimana proses belajar itu terjadi. Model proses belajar yang dikembangkan oleh Gagne didasarkan pada teori pemrosesan informasi, yaitu sebagai berikut :
1.      Rangsangan yang diterima panca indera akan disalurkan ke pusat syaraf dan diproses sebagai informasi.
2.      Informasi dipilih secara selektif, ada yang dibuang, ada yang disimpan dalam memori jangka pendek, dan ada yang disimpan dalam memori jangka panjang.
3.      Memori-memori ini tercampur dengan memori yang telah ada sebelumnya, dan dapat diungkap kembali setelah dilakukan pengolahan.

Seperangkat proses yang bersifat internal yang dimaksud oleh Gagne adalah kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan terjadinya proses kognitif dalam diri individu Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Karena itulah Gagne membuat beberapa rumusan untuk menghubungkan keterkaitan antara faktor internal dan eksternal dalam pembelajaran dalam rangka memaksimalkan tercapainya tujuan pembelajaran.
1.      Gagne membuat rumusan yang berisi urutan untuk menimbulkan peristiwa pembelajaran, yaitu :
a.       Pembelajaran yang dilakukan dikondisikan untuk menimbulkan minat peserta didik, dan dikondisikan agar perhatian peserta didik terpusat pada pembelajaran sehingga mereka siap untuk menerima pelajaran.
b.      Memulai pelajaran dengan menyampaikan tujuan pembelajaran agar peserta didik mengetahui apa yang diharapkan setelah menerima pelajaran.
c.       Guru harus mengingatkan kembali konsep yang telah dipelajari sebelumnya.
d.      Guru siap untuk menyampaikan materi pelajaran.
e.       Dalam pembelajaran guru memberikan bimbingan atau pedoman kepada siswa untuk belajar.
f.       Guru memberikan motivasi untuk memunculkan respon siswa.
g.      Guru memberikan umpan balik atau penguatan atas respon yang diberikan siswa baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.
h.      Mengevaluasi hasil belajar, dan
i.        Memperkuat retensi dan transfer belajar.
2.      Gagne membuat 7 macam pengelompokan media, yaitu :
·         Benda untuk didemostrasikan
·         Komunikasi lisan
·         Media cetak
·         Gambar diam
·         Gambar gerak
·         Film bersuara, dan
·         Mesin belajar.

3.      Gagne merumuskan “ The domains of Learning “, yaitu :
Kemampuan belajar manusia yang terbagi kepada lima kategori :
a.       Motor/skill : ketramppilan motorik.
b.      Informasi verbal : dapat menjelaskan sesuatu dengan berbicara, menulis, menggambar.
c.       Kemampuan intelektual, yaitu kemampuan manusia dalam berinteraksi dengan dunia luar yang berkaitan dengan symbol-simbol.
d.      Strategi kognitif : organisasi keterampilan yang internal.
e.       Sikap.

4.      Gagne membuat rumusan tahapan dalam tujuan dan tingkatan belajar :
Tahapan tujuan belajar diawali dari yang mudah (rendah), sedang, ke sulit (tinggi), dan tahapan ini berbanding lurus dengan tahapan proses belajar, yaitu dari yang paling sederhana ke yang kompleks. Adapun tingkatan belajar ada empat : belajar fakta, belajar konsep, belajar prinsip, dan pemecahan masalah.
Toeti Soekamto menambahkan bahwa untuk dapat memecahkan masalah seorang harus terlebih dahulu belajar prinsip, dan sebelum belajar prinsip, maka ia harus belajar konsep terlebih dahulu yang sifatnya lebih mudah.


5.      Pendekatan Konstruktivis Sosial

Teori konstruktivisme adalah salah satu dari banyak teori belajar yang telah didesain dalam pelaksanaan pembelajaran matematika. Seperti halnya behaviorisme dan kognitivisme, konstruktivisme dapat diterapkan dalam berbagai aktivitas belajar baik pada ilmu-ilmu sosial maupun ilmu eksakta. Dalam matematika, konstruktivisme telah banyak diteliti, diterapkan, dan diuji coba pada situasi ruangan kelas yang berbeda-beda. Dari berbagai percobaan itu telah banyak menghasilkan berbagai pandangan yang ikut mempengaruhi perkembangan, modifikasi, dan inovasi pembelajaran. Lahirnya berbagai pendekatan seperti pembelajaran kooperatif, sosio-kultur, pembelajaran kontekstual, dan lain-lain merupakan hasil inovasi dan modifikasi dari teori pembelajaran.
Belajar menurut konstruktivisme adalah suatu proses mengasimilasikan dan mengkaitkan pengalaman atau pelajaran yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimilikinya, sehingga pengetahuannya dapat dikembangkan.
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya memberikan pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif membangun sendiri pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide – ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang membawa siswa ke tingkat pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang mereka tulis dengan bahasa dan kata – kata mereka sendiri.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan, bahwa makna belajar menurut konstruktivisme adalah aktivitas yang aktif, dimana pesrta didik membina sendiri pengtahuannya, mencari arti dari apa yang mereka pelajari dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan idea-idea baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dan dimilikinya (Shymansky,1992).
Teori Konstruktivisme  didefinisikan sebagai pembelajaran yang  bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan teori behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya. Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif dimana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema yang baru.
Teori konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan strategi belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. Sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan, siswa ”mengkonstruksi” atau membangun pemahamannya terhadap fenomena yang ditemui dengan menggunakan pengalaman, struktur kognitif, dan keyakinan yang dimiliki. Dengan demikian, belajar menurut teori konstruktivisme bukanlah sekadar menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari ”pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setiap individu.

Adapun tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:
·         Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
·         Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.
·         Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
·         Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
·         Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.

Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori
perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988:133).
Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7). Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial.
6.      Teori-teori Belajar dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

Manusia diciptakan Allah swt, dalam struktur yang paling baik di antara makhluk Allah yang lain. Struktur manusia terdiri atas unsur jasmaniah (fisikologis) dan rohaniah (psikologis). Dalam struktur jasmaniah dan rohaniah itu, Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang, dalam psikologi disebut potensialitas atau disposisi, yang menurut aliran psikologi behaviourisme disebut prepotence reflexes (kemampuan dasar yang secara otomatis dapat berkembang). Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan mengalami perkembangan sampai kepada proses pembelajaran.
Dalam perkembanganya merupakan suatu konsep-konsep atau teori-teori dalam
aktivitas kegiatan belajar-mengajar. Dalam kaitanyan dengan proses pembelajaran, ditemukan ada beberapa teori yang telah dikenal secara umum, diantaranya: teori fitrah, teori psikologi daya, dan teori gestalt.

1. Teori Fitrah
Dalam pandangan agama Islam kemampuan dasar atau pembawaan itu disebut dengan fitrah, kata yang berasal dari fathara, dalam pengertian etimologis mengandung arti kejadian. Kata fitrah disebutkan dalam al-Qur'an surah.Ar-Ruum/30:30

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.

Di samping itu terdapat hadis Rasulallah saw.:
Abu Mu'awiyah menceritakan kepada kami, dari al- A'masy dari Abi Shalih dari Abi Hurairah r.a berkata: Rasulallah saw. telah bersabda: setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi, nasrani, atau musyrik. (HR Ahmad).

Dari pengertian al-Qur'an dan Hadis di atas, dapat diambil pengertian secara terminologis sebagai berikut:
a.       Mengandung implikasi pendidikan yang berkonotasi kepada paham nativisme. Oleh karena kata fitrah mengandung makna kejadian yang di dalamnya berisi potensi dasar beragama yang benar lurus, yaitu Islam. Dengan potensi dasar ini tidak dapat diubah oleh siapa pun atau lingkungan apa pun, karena fitrah itu merupakan ciptaan Allah yang tidak akan mengalami perubahan baik isi maupun bentuknya dalam tiap pribadi manusia.
Dengan demikian, ilmu pendidikan agama Islam bisa dikatakan berfaham nativisme, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa perkembangan manusia dalam hidupnya secara mutlak ditentukan oleh potensi dasarnya.

b.      Mengandung kecenderungan netral, dijelaskan dalam al-Qur'an surah An-Nahl/16: 78 Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. Menurut Mohammad Fadhil al-Djamaly yang dikutip M. Arifin mengatakan, bahwa ayat di atas menjadi petunjuk untuk melakukan usaha pendidikan secara eksternal oleh peserta didik.
Dengan demikian, pengertian fitrah menurut interpretasi kedua ini, tidak dapat sejalan dengan empirisme, karena faktor fitrah tidak hanya mengandung kemampuan dasar pasif yang beraspek hanya pada kecerdasan semata dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan, melainkan mengandung pada tabiat atau watak dan kecenderungan untuk mengacu kepada pengaruh lingkungan eksternal sekalipun tidak aktif.

c.       Konsep al-Qur'an yang menunjukkan, bahwa tiap manusia diberikan kecenderungan nafsu untuk menjadikanya kafir bagi yang ingkar terhadap Tuhannya dan kecenderungan yang membawa sikap bertaqwa, menaati perintah Allah swt. Jelaslah bahwa faktor kemampuan memilih yag terdapat dalam fitrah (human nature) manusia berpusat pada kemampuan berfikir sehat (berakal sehat), karena akal sehat mampu membedakan hal-hal yang benar dan yang salah. Sedangkan yang mampu memilih yang benar secara tepat hanyalah orang-orang berpendidikan sehat. Sejalan dengan interpretasi tersebut, maka dikatakan bahwa pengaruh faktor lingkungan yang sengaja adalah pendidikan dan latihan berproses interaktif dengan kemampuan fitrah manusia.
Dalam pengertian ini, pendidikan agama Islam berproses secara konvergensis yang dapat membawa kepada paham konvergensi dalam pendidikan agama Islam. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu pendidikan agama Islam dapat berorientasi pada salah satu paham filosofis saja atau campuran paham tesebut di atas. Namun apa pun paham filosofis yang dijadikan dasar pandangan, ilmu pendidikan agama Islam tetap berpijak pada kekuatan hidayah Allah swt, yang menentukan hasil akhir.

d.      Komponen psikologis dalam fitrah. Jika diperhatikan berbagai pandangan para ulama dan ilmuwan Islam yang telah memberikan makna terhadap istilah fitrah, maka dapat diambil kesimpulan bahwa fitrah adalah suatu kemampuan dasar perkembangan manusia yang dianugerahkan Allah swt. kepadanya. Karena memang manusia itu lahir bagaikan kertas putih bersih belum ada yang memberi warna apa pun dalam dirinya, apakah ia menjadikannya sebagai Majusi, Nasrani, atau agama yang lurus yaitu Islam, ini tergantung kepada orang tua atau orang dewasa yang membimbingnya, sehingga dengan sentuhan orang lain atau lingkungan sekitarnya baru dapat berinteraksi terhadap yang lain. Jadi peran pendidikan sangatlah berarti baginya. Karena dengan melalui pendidikan dapat mengetahui dari belum tahu akan menjadi tahu.

2. Teori Psikologi Daya
Para ahli psikologi, kata daya identik dengan raga atau jasmani. Raga atau jasmani mempunyai tenaga atau daya, maka jiwa juga dianggap memiliki daya, seperti; daya untuk mengenal, mengingat, berkhayal, berpikir, merasakan, daya menghendaki, dan sebagainya. Sebagaimana daya jasmani dapat diperkuat dengan jalan melatihnya yaitu mengerjakan sesuatu dengan berulang-ulang, maka daya jiwa dapat diperkuat dengan jalan melatihnya secara berulang-ulang pula. Daya seseorang dapat dikembangkan melalui latihan, seperti; latihan mengamati benda atau gambar, latihan mendengarkan bunyi atau suara, latihan mengingat kata, arti kata, latihan melihat letak suatu kota dalam peta. Latihan-latihan tersebut dapat dilakukan dengan melalui berbagai bentuk pengulangan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa setiap individu atau peserta didik memiliki sejumlah daya atau kekuatan dalam dirinya. Daya-daya itu dapat dikembangkan dalam kegiatan proses pembelajaran, termasuk daya fisik, motorik dan mentalnya, dengan latihan secara terus menerus untuk berguna bagi dirinya.

3. Teori Gestalt
Psikologi muncul dipengaruhi oleh psikologi gestalt, dengan tokoh-tokohnya seperti Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Perkataan gestalt dalam bahasa Jerman berarti suatu konfigurasi, pola atau keseluruhan. Teori ini juga disebut psikologi organismik atau field theori, yang bertolak dari suatu keseluruhan. Teori ini berpendapat, bahwa belajar adalah bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh insight atau pengertian yang mendalam. Belajar menurut pandangan ini akan semakin efektif jika materi yang akan dipelajari itu mengandung makna, yaitu jika disusun dan disajikan dengan cara memberi kemungkinan peserta didik untuk mengerti apa- apa yang sebelumnya, dan menganalisis hubungan satu dengan yang lain.
Berbeda dengan teori-teori yang dikemukakan oleh tokoh behaviorisme terutama thorndike menganggap bahwa belajar sebagai proses trial and error, teori gestalt memandang belajar adalah proses yang didasarkan pada pemahaman (insight). Karena pada dasarnya tingkah laku seseorang selalu didasarkan pada kognisi yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku tersebut terjadi. Pada situasi belajar, keterlibatan seseorang secara langsung dalam situasi belajar tesebut akan menghasilkan pemahaman yang dapat membantu individu tersebut memecahkan masalah. Dengan kata lain, teori gestalt menyatakan bahwa yang paling penting dalam proses belajar individu adalah dimengertinya apa yang dipelajari oleh individu tersebut. Oleh krena itu, teori gestalt ini disebut teori insight.
Pendapat tesebut, terdapat persamaan makna dengan yang dikemukakan oleh Oemar Hamalik yang mengatakan bahwa, prinsip pembelajaran yang dianut oleh teori gestalt,
adalah: 1) Belajar dimulai dari suatu keseluruhan menuju bagian-bagian, 2) Keseluruhan memberikan makna bagian-bagian tersebut, 3) Bagian-bagian dilihat dalam hubungan keseluruhan berkat individu, 4) Belajar memerlukan pemahaman (insight), 5) Belajar memerlukan reorganisasi pengalaman yang kontinyu.
Hal tersebut menunjukkan bahwa, belajar dengan cara berulang-ulang atau mengulangi dari semua materi pelajaran akan lebih dimengerti dan lebih mudah dipahami daripada belajar tanpa mengulangi materi pembelajaran. Artinya bahwa, belajar itu diperlukan kesabaran, keuletan, dan ketekunan.
Dari beberapa uraian di atas tentang teori-teori belajar dalam pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran Agama Islam, penulis mengemukakan bahwa semua teori yang para ahli kemukakan dapat dipedomani sebagai bahan referensi dalam proses pembelajaran.


B.     Macam-macam Perwujudan Perilaku Belajar
1.       Beberapa Karakteristik Perilaku Belajar
Kita dapat mengidentifikasi beberapa ciri perubahan yang merupakan prilaku belajar, di antaranya :
a.       Bahwa perubahan Intensional, dalam arti pengalaman atau praktek atau latihan itu dengan sengaja dan disadari dilakukannya dan bukan secara kebetulan; dengan demikian perubahan karena kemantapan dan kematangan atau kelatihan atau karena penyakit tidak dapat dipandang sebagai perubahan hasil belajar.
b.      Bahwa perubahan itu positif, dalam arti sesuai seperti yang diharapkan (normatif) atau kriteria keberhasilan ( criteria of success ) baik dipandang dari segi siswa (tingkat abilitas dan bakat khususnya, tugas perkembengan, dan sebagainya) maupun dari segi guru (tuntutan masyarakat, orang dewasa sesuai dengan tingkatan standar kulturalnya).
c.       Bahwa perubahan itu efektif, dalam arti membawa pengaruh dan makna tertentu bagi pelajar itu (setidak-tidaknya sampai batas waktu tertentu) relatif tetap dan setiap saat diperlukan dapat direproduksi dan dipergunakan seperti dalam pemecahan masalah ( problem solving ), baik dalam ujian, ulangan, dan sebagainya maupun dalam penyesuaian diri dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya.

2.      Makna Manifestasi Perbuatan Belajar
Meskipun terdapat titik pertemuan antara berbagai pendapat para ahli apa itu hakikat, atau esensi dari perbuatan belajar, ialah perbuatan perilaku dan pribadi, namun mengenai apa sesungguhnya yang dipelajari dan bagaimana manifestasinya masih tetap merupakan masalah yang mengundang interpretasi yang paling fundamental mengenai hal ini, ialah terletak pada dasar pandangan (basic assumpton atau basic ideas) yang dipergunakannya.
Secara singkat dari pandangan itu dapat dirangkumkan bahwa yang dimaksud dalam konteks belajar itu dapat bersifat fungsional atau struktural, material dan behavioral, serata keseluruhan pribadi (Gestalt atau sekurang kurangnya multidimensional)

b.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar
Secara fundamental Dollar and Miller (Loree, 1970 : 136) menegaskan bahwa ke efektifan prilaku belajar itu dipengaruhi oleh empat hal, yaitu:
a)      Adanya motivasi ( drives ), siswa harus menghendaki sesuatu ( the learner must want something )
b)      Adanya perhatian dan mengetahui sasaran ( cue ), siswa harus memperhatikan sesuatu ( the learner must notice something );
c)      Adanya usaha ( response ), siswa harus melakukan sesuatu ( the learner must dosomething );
d)     Adanya evaluasi dan pemantapan hasil (reinforcement ), siswa harus memperoleh sesuatu ( the learner must get something ).

c.       Pengertian Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris learning disability. Terjemahan tersebut sesungguhnya kurang tepat karena learning artinya belajar dan disabiliti artinya ketidakmampuan; sehingga terjemahan yang benar seharusnya  adalah ketidakmampuan belajar Kesulitan belajar adalah suatu keadaan yang menyebabkan siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya (Dalyono, 1997 : 229).
Definisi lain tentang kesulitan belajar yaitu kesukaran siswa dalam menerima atau menyerap pelajaran di sekolah. (Sabri, 1995 : 88) Menurut Burton, siswa diduga mengalami kesulitan belajar, apabila siswa tidak dapat mencapai ukuran tingkat keberhasilan belajar dalam waktu tertentu, siswa tidak dapat mewujudkan tugas-tugas perkembangan dan tidak dapat mencapai tingkat penguasaan materi. (Makmun, 1996 : 207)
Dari beberapa definisi di atas menunjukkan bahwa siswa yang mengalami kesulitan belajar, akan sukar dalam menyerap materi-materi pelajaran yang di sampaikan oleh guru sehingga ia akan malas dalam belajar, serta tidak dapat menguasai materi, menghindari pelajaran, mengabaikan tugas-tugas yang diberikan guru, penurunan nilai belajar dan prestasi belajar rendah.

1)           Faktor-faktor Kesulitan Belajar
Faktor yang dapat menyebabkan kesulitan belajar di sekolah itu banyak dan beragam. Apabila dikaitkan dengan faktor-faktor yang berperan dalam belajar, penyebab kesulitan belajar tersebut dapat kita kelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri siswa (faktor internal) dan faktor yang berasal dari luar diri siswa (faktor eksternal).
Adapun faktor-faktor penyebab kesulitan belajar itu, dapat dikelompokkan sebagai berikut:
A. Faktor internal, yang meliputi:
1.      Faktor fisiologi
2.      Faktor psikologi
B. Faktor eksternal, yang meliputi:
1.      Faktor orang tua
2.      Faktor sekolah
3.      Faktor media masa dan lingkungan sosial
4.      Faktor-faktor lain yang juga dapat menimbulkan kesulitan belajar yaitu sindrom psikologis berupa learning disability (ketidakmampuan belajar) (syah, 1999 : 166).
Faktor-faktor tersebut adalah:
·         Disleksia ( dyslexia) yaitu ketidakmampuan belajar membaca.
·         Disgrafia ( dysgraphia) yaitu ketidakmampuan belajar menulis.
·         Diskalkulia ( discalculia ), yaitu ketidakmampuan belajar matematika.

2)      Hakikat Prestasi Belajar
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan “Prestasi” adalah hasil yang telah dicapai (dilakukan, dikerjakan dan sebagainya). Mengenai prestasi belajar, Sumadi Suryabrata membagi ke dalam dua bagian, yaitu pertama, hasil belajar siswa adalah penguasaan kecakapan yang diusahakan secara sengaja dalam suatu waktu dan satuan bahan tertentu. kedua, hasil belajar perbedaan antara kecakapan pada awal dan akhir proses belajar. (Sumadi. S, 1975 : 354) Di sekolah hasil belajar dinyatakan dalam angka- angka (nilai) dalam semua mata pelajaran yang diberikan. Jadi bentuk angka (nilai) ini merupakan lambang untuk prestasi (hasil belajar siswa).
Adapun yang dimaksud dengan hasil belajar siswa menurut Nana Sudjana adalah “Seperangkat nilai-nilai yang diperoleh peserta didik setelah melalui evaluasi yang didapat yaitu hasil belajar tingkat kognitif.” (Sudjana, 1988 : 50). Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan prestasi belajar atau hasil belajar adalah perubahan yang terjadi pada diri siswa setelah mengikuti suatu proses belajar, hasil belajar merupakan umpan balik yang diberikan oleh peserta didik. Hasil belajar yang diperoleh tidak hanya sekedar berupa pengetahuan melainkan juga dapat berbentuk prilaku yang ditunjukkan siswa.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian pada bab pembahasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
·         Teori merupakan sebuah sistem yang dapat diuji kebenaranya oleh siapa pun dan terbuka untuk dikaji ulang dalam perspektif yang sama, dan mungkin dapat digantikan dengan sebuah sistem baru, yang sudah mengalami kajian dan penelitian lain. Sedangkan belajar merupakan proses perubahan tingkah laku manusia berdasarkan pengalaman dan latihan, dari belum tahu menjadi tahu, dari pengalaman yang sedikit kemudian bertambah.
·         Teori- teori belajar dalam pembelajaran pendidikan agama Islam meliputi:
a. Teori fitrah. Teori ini berpendapat, bahwa kemampuan dasar perkembangan manusia merupakan anugrah dari Allah swt, yang dilengkapi dengan berbagai potensi pada dirinya.
b. Teori psikoologi daya. Teori ini berpendapat, bahwa setiap individu atau pserta didik memiliki sejumlah daya atau kekuatan dalam dirinya yang dapat dikembangkan dalam kegiatan proses pembelajaran baik dari dari daya fisik, motorik maupun dari daya mentalnya dapat dikembangkan dengan melalui latihan terus menerus.
c. Teori gestalt. Teori ini berpendapat, belajar bukan saja mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh insight (pengertian yang mendalam).
















DAFTAR PUSTAKA

Hamalik, Oemar, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.

..........................., Kurikulum dan Pembelajaran, Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 2007.

Suryabrata, Sumardi, Psikologi Pendidikan, Cet. I; Jakarta: Rajawali, 1984.

Syah, Muhibbin, Pikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. XVIII, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2006.




[1]Ibid, hal.42 

0 komentar:

Posting Komentar